Jam dinding di sana menunjukkan jam 2 tepat. Bukan jam 2 siang, tapi jam 2 pagi. Aku pun terkaget melihat cepatnya jarum-jarum kecil itu bergerak. Mereka tak hiraukan sekitanya. Mereka asik sendiri dengan kegiatan mereka. Berputar. Berputar. Dan berputar. Tak peduli aku sedang menjulangkan kaki ke udara, menjentikkan jemari ke keyboard atapun sedikit mendongakkan kepala untuk melihat tarian bulan. Mereka benar-benar angkuh. Sangat angkuh. Jika ku bertanya jam berapa, mereka tak menjawab. Hanya suara tik tik saja yang mereka lontarkan. Kejam. Aku di hiraukan waktu. Mungkin mereka begitu karna aku ada salah? Apa salahku terhadap mereka? Aku hanya menyapa, tak menyakiti. Coba kau tanya saja pada bingkai foto bunda disebelahnya. Sungguh tak mengerti aku terhadap jarum-jarum kecil yang berputar itu. Sungguh! Atau barangkali karna aku sering membuang-buang waktu, maka mereka marah dan mempercepat hidupku? Mempercepat setiap detik uadara yang masuk ke paru-paruku? Apakah segitu teganya jarum-jarum kecil itu kepadaku? Tak mau kah mereka memaafkanku? Aku sudah teriak kepadanya. Meminta maaf. Tapi tetap saja mereka diam. Membisu. Dan tetap acuh. Frustasi aku dibuatnya. Ingin melompat dan pecahkan jam brengsek yang sombong bukan kepalang. Tapi jemari ini tak rela jika aku berhentikan waktu. Mati, katanya jika itu terjadi. Menurutnya masih ada kesempatan untuk meminta maaf kepada jarum-jarum kecil itu. Masih sangat terbuka untuk memanfaatkan waktu. Dan aku tersudut oleh kata-kata jemariku. Terpojok penuh lumut dan tersadarkan oleh sesuatu yang selalu aku hiraukan. Kini aku hanya menangisi detik yang terlewati. Menyesali menit yang aku hiraukan. Dan mencoba memikirkan jam yang aku lantarkan. Tersudut, terpojok, dalam tangis aku berkata "maafkan aku bunda"
*diambil dari account facebook sang Buku Biru!
Label: kata mereka ini seni menulis
0 Komentar:
Posting Komentar
<< Home